Problema Angkutan Batubara

  

Musri Nauli 

Akhir-akhir ini problema angkutan batubara menjadi semakin sulit. Berbagai upaya yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Jambi dengan berbagai pemangku kepentingan (multi stake holders) “seakan-akan” menemukan jalan buntu. 

Terus berlarut-larut dan menimbulkan kemarahan masyarakat. 

Sebenarnya upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jambi Sudah banyak dilakukan. 

Al Haris Sebagai Gubernur Jambi telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1165/Dishub-3.1/V/2002 Tertanggal 17 Mei 2022 Tentang Pengaturan Lalu Lintas Angkutan Batubara di Provinsi Jambi (SE Batubara). 

Didalam SE diatur tentang kegiatan angkutan minerba yang tidak menggunakan BBM subsidi, angkutan batubara wajib dilengkapi dengan nomor lambung sebagai syarat dalam kontrak kerjasama, wajib pakai TNKB Jambi. 

Dan yang cukup Penting adalah angkutan batubara yang menggunakan jalan umum tidak boleh dilakukan sebelum pukul 18.00 wib. 

Selain itu telah dilakukan “memindahkan” jalan dan membangun jalur alternatif. Jalan yang ditempuh diantaranya seperti  Koto Boyo–Bajubang–Tempino–Pelabuhan Talang Duku.

Bahkan Pemerintah Kabupaten Batanghari Sudah mengerjakan Koto Boyo sampai ke Tempino. Lebih kurang 32 km. Pekerjaan Tahap awal. 

Rencana Pemerintah Provinsi juga akan menaikkan kelas jalan. Sehingga menjadi kelas A. Dan dianggarkan  Rp 50 milyar rupiah. 

Dengan tegas Al Haris sebagai Gubernur Jambi telah memerintahkan agar setiap pemangku kepentingan (Stake holders) dan pihak OPD untuk mempersiapkan anggaran. Dan kemudian dibahas dengan DPRD Provinsi Jambi dan kemudian dimasukkan kedalam APBD-P. 

Namun persoalan belum juga selesai. 

Lalu dimana persoalan yang Masih menyisakan tanya dan menimbulkan kemarahan masyarakat. 

Pada hari Jumat yang lalu, sengaja saja ke Bangko. Menyelesaikan urusan di Bangko. 

Berangkat jam 15.00 wib dari Jambi. Lancar hingga melewati Muara Tembesi. Praktis, pedal gas dipacu hingga stabil rata-rata kecepatan 60 km/jam - 80 km/jam. 

Melewati jalan ness, memutar dan mengambil jalan melewati arena ex MTQ di Muara Bulian, lancar jaya. Praktis sama sekali tidak ada lubang yang dapat mengurangi pedal gas. 

Begitu juga melewati Muara Bulian - Muara Tembesi. Praktis sama sekali tidak ada hambatan. 

Apabila sedikit “melambatkan” pedal gas di depan Soto Jakarta setelah melewati RM Bayang Bulian 2, semata-mata Masih terdapat jalan sedikit bergelombang. Jalan utama negara yang menghubungkan antara kabupaten. Dan tetap menjadi tanggungjawab pemerintah Pusat untuk memperbaikinya. 

Setelah melewati Simpang Muara Tembesi, belok kiri menuju Sarolangun, barulah ditemukan macet di Simpang Karmeo. Sekitar 10 km menjelang Muara Jangga, Kecamatan Batin XIV, Kabupaten Batanghari. 

Mobil menumpuk dan terjadi macet total. 

Kemacetan disebabkan, mobil batubara yang telah kosong hendak memasuki Desa Koto Buayo, areal tambang. Terparkir di sepanjang jalan di Simpang Karmeo. 

Selain itu, jalur dari Sarolangun kemudian “terjebak”. Disebabkan mobil dari arah Tembesi memakan jalur dari Sarolangun. Jalur yang tidak semestinya. 

Mereka tidak disiplin. Tetap memaksa “meringsek” masuk. 

Ketidakdisiplinan pengemudi dari Jambi yang “memakan jalan” menyebabkan mobil dari Sarolangun tidak mampu bergerak. 

Hampir 2 jam kemacetan terjadi. 

Untunglah menjelang magrib, tiba-tiba seorang anggota Polisi (Masih muda) kemudian “memaksa” mobil dari Jambi agar tertib didalam antrian. 

Dengan tenang kemudian meminta kesadaran pengemudi mobil agar tetap dalam antrian. 

Dengan datangnya Polisi muda yang sangat tenang mengatur lalu lintas, para pemuda di Desa kemudian membantu. Dengan dibantu para pengemudi yang mobilnya terparkir didalam antrian, kemudian meminta kepada seluruh pengemudi dari Muara Tembesi agar ikut dalam antrian. 

Sang polisi kemudian memberikan kesempatan kepada mobil dari sarolangun untuk menggunakan jalan yang semestinya. 

Sikap Polisi yang sangat tenang membantu alur yang macet dan dibantu para pemuda dan para supir agar mengatur Barisan sehingga tidak macet membuat saya kagum. 

Ketenangan sekaligus ketegasannya untuk “memaksa” driver mobil dari Muara Tembesi agar tetap tertib dan masuk kedalam Barisan adalah upaya yang tidak boleh diremehkan. 

Ditengah hujatan persoalan angkutan batubara, problema sebenarnya diakibatkan para Driver yang “bandel” yang memakan jalan dan tidak “tertib” dari antrian adalah pelaksanaan di Lapangan. Yang menjadi persoalan kemudian menjadi mengemuka. 

Namun kehadiran sang Polisi Muda adalah upaya tenaga-tenaga di Lapangan yang harus diberikan apresiasi. 

Tidak lama kemudian jalur kemudian terurai. Pelan-pelan kemudian mobil dari Arah Tembesi dapat berjalan dengan pelan-pelan. 

Namun alangkah kagetnya saya. Banyaknya angkutan mobil batubara yang terparkir di jalanan, baik dari arah Sarolangun maupun arah Muara Tembesi menjelang masuk ke tambang di Desa Koto Buayo membuat saya menjadi paham. 

Ternyata persoalan yang Masih menyisakan tanda tanya salah satu disebabkan di Desa Koto Buayo. 

Sayapun menjadi paham. Kadangkala persoalan angkutan batubara bukan lagi disebabkan persoalan jalanan atau angkutan batubara  yang memakan badan jalan ataupun persoalan lainnya. 

Ketidakdisiplinan angkutan batubara yang sudah terparkir dibawah Jam 18.00 wib. 

Padahal perintahnya sudah jelas. Angkutan batubara dibenarkan mulai bergerak jam 18.00 wib dari mulut tambang. Bukan Sudah berkeliaran dan parkir yang kemudian memakan jalan. 

Selain itu “ketidakdisiplinan” driver yang tidak mau ikut didalam antrian adalah persoalan di Lapangan. 

Belum lagi masih ada ditemukan angkutan batubara yang Masih menggunakan plat kendaraan non Jambi. 

Dengan demikian maka dipastikan, persoalan angkutan batubara adalah pelaksanaan di Lapangan yang tidak mengikuti ketentuan yang telah diatur. 

Tinggal dibutuhkan ketegasan dari berbagai pemangku kepentingan (multi stake holders) untuk “menertibkan” berbagai persoalan yang Masih terjadi di Lapangan.